Home » KulBlog » Hari Buruh Nasional = Kembalikan Kedaulatan Negara
Rabu, 01 Mei 2013
Hari Buruh Nasional = Kembalikan Kedaulatan Negara
Diposting oleh
Unknown
Oleh Arsanti Aradea
Kepala Departemen Kajian Strategis Aksi dan Advokasi
KAMMI Untirta 2013
Persoalan demi persoalan yang terjadi di Indonesia yang semakin tidak terselesaikan semakin memperburuk kehidupan rakyat miskin di Indonesia. Pemerintah dengan kebijakan ekonomi-politiknya justru menambah beban hidup sebagian besar rakyat Indonesia. Rakyat semakin tidak mampu lagi mempertahankan kehidupannya sebagaimana layaknya manusia karena semakin tidak terjangkaunya harga-harga kebutuhan dasar pokok dan mahalnya biaya hidup lainnya seperti pendidikan, kesehatan dan lain sebagainya.
Tidak tersedianya lapangan pekerjaan di negeri ini adalah merupakan salah satu faktor semakin bertambahnya angka pengangguran di Indonesia yang kini sudah mencapai angkah 42,1 juta (Suara Pembaharuan 12.02.06). Sedangkan faktor-faktorlain yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari buruknya situasi ekonomi di Indonesia adalah korupsi yang masih terus merajalela di semua tingkatan instansi pemerintah (pusat dan daerah), lemahnya penegakkan hukum, sistem ekonomi-politik yang sangat bergantung pada modal asing. Sistem ekonomi-politik Indonesia yang sangat bergantung pada hutang dan modal asing yang dianut oleh pemerintah Indonesia sangat memberi pengaruh buruk bagi perkonomian Indonesia. Kondisi ini dapat dilihat dari banyaknya perusahaan-perusahaan negara (BUMN) serta kekayaan alam Indonesia dikuasai oleh perusahaan asing seperti, Freefort, Exxon-Mobil, Newmont, dll, yang telah mengeruk habis kekayaan alam Indonesia. Perusahaan-perusahaan Negara yang seharusnya diperuntukan bagi hajat hidup rakyat justru dijual (atau diprivatisasi) oleh pemerintah. Sistem ekonomi-politik yang lebih memihak pada kepentingan kapitalis asing (imperialisme) dan bergantung pada hutang luar negeri telah membuat rakyat Indonesia hidup dalam kemiskinan.
Kondisi perburuhan di Indonesia yang semakin buruk adalah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari buruknya sistem perekonomian di Indonesia. Kebijakan-kebijakan ekonomi-politik yang dikeluarkan oleh pemerintah telah menempatkan buruh sebagai korban (tumbal) yang dipaksa untuk menerima dan memaklumi kehidupannya yang terus menjadi miskin karena kebijakan ekonomi-politik yang dikeluarkan oleh negara. Lalu marikita sedikit saja petakan masalah-masalah yang sebenarnya menjadi masalah kita bersama --rakyat, intelektual, mahasiswa, profesional, buruh, tani, dll-pada hari buruh tahun ini
Pertama, harus diakui, ekonomi kita saat ini sedang morat-marit. harga minyak dunia melambung tinggi, dan pemerintah dengan sangat reaktif menjawabnya dengan kebijakan paling gampang: menaikkan harga BBM Bersubsidi. Akibatnya, harga kebutuhan pokok naik, spekulan bermain di mana-mana.
Jelas, buruh paling dirugikan karena harus menghadapi bahaya lain: pemangkasan upah. Kenaikan harga BBM menaikkan ongkos produksi. Perusahaan akan dengan mudah menurunkan upah buruh -apalagi ditopang dengan UMP yang tidak layak- sehinggaj ustru menempatkan buruh pada posisi paling dirugikan. Ini dampak riil yang akan dialami buruh.
Faisal Yusra, Ketua Serikat Pekerja Migas Indonesia (SPMI), telah menyatakan bahwa masalah penaikan harga BBM tak terlepas dari skema liberalisasi Migas yang menganaktirikan Pertamina di Indonesia (Yusra, 2012). Sebagai perusahaan negara, posisi Pertamina dalam industri hulu justru harus "bersaing" dengan perusahaan-perusahaan multinasional asing lain yang bercokol melalui UU22/2001 tentang Migas. [1]
Ketika pekerja pertamina bekerja keras penuhi pasokan BBM di Indonesia, perusahaan asing justru mengeruk kekayaan dengan bagi hasil tak seimbang. Ini ironis dan problematis. Artinya, hal ini juga terkait problem perburuhan yang berkorelasi dengan problem kedaulatan bangsa.
Kedua, Terkait upah, penelitian LSM Akatiga tahun 2009 di sektortekstil dan garmen menunjukkan, di sembilan kabupaten meliputi 50 pabrik,rata-rata upah total (Rp 1.099.253) hanya mencukupi 74,3 persen rata-ratapengeluaran riil dan upah minimum kota (UMK) hanya mencukupi 62,4 persen rata-rata pengeluaran riil buruh (Rp 1.467.896).
Gambaran upah itu tidak berbeda dengan ilustrasi Manning(1993). Tahun 1990/1991—setelah lebih dari 20 tahun industrialisasi era Orde Baru—upah buruh tekstil di Bandung per hari setara dengan 4 kg beras. Buruh yang telah lelah sepanjang hari masih harus memikirkan tambahan penghasilan untukmenutupi keperluan keluarga. Banyak yang terlibat utang kepada rentenir danbeberapa buruh wanita bekerja ”ekstra” pada malam hari.
Kondisi yang memprihatinkan juga terjadi pada buruh kontrakdan outsourcing(Akatiga, 2010). Sekitar 40 persen pekerja di sektor metal adalah pekerja kontrak dan out sourcingdengan upah yang jauh lebih kecil. Mereka juga kesulitan bergabung pada serikatburuh sehingga sulit memiliki daya tawar kolektif.
Forum Solidaritas Buruh Serang (FSBS) tahun 2006 mengungkapkan bahwa terjadi penyimpangan sebagai berikut; (a) penempatan buruh Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) di bagian yang bersifat tetap mencapai 77 persen, (b) upah di bawah UMK 8 persen, (c) pekerja tanpa perlindungan Jamsostek 48 persen, (d) pungutan biaya rekrutmen antara Rp 250.000 dan Rp 1,5juta sebanyak 3 persen, dan (e) kontrak kerja kurang dari tiga bulan sebanyak 7 persen (Cahyono, 2010). Gambaran di atas menunjukkan betapa buruknya upah dan tingkat kesejahteraan buruh kita.
Fenomena upah murah dipengaruhi: pertama, perubahan struktural pasar tenaga kerja global. Negara maju merelokasi industrinya kenegara-negara yang menyediakan buruh berupah rendah sejak 1980-1990-an.Indonesia pun ikut menawarkan ”paket” buruh murah dan stabilitas politik(Batubara, 2008).
Kedua, ekses suplai tenaga kerja yang besar memberi tekanan kuat pada pembentukan upah murah (Manning, 1993). Ketiga, ekonom-ekonom arusutama, yang sangat berpengaruh terhadap pengambil kebijakan selama ini, umumnyasangat kontra terhadap kekakuan (rigidity)pasar tenaga kerja.
Kekakuan disebabkan oleh tingginya tingkat upah. Merekamengimbau pasar tenaga kerja yang fleksibel untuk mengurangi pengangguran.Pasar akan fleksibel jika peranan pemerintah diperkecil, keberadaan serikat buruh (tradeunion) ditiadakan, dan sistem kerja tidak tetap dan outsourcing diberlakukan.
Fenomena diterimanya Pasal 65 dan 66 tentang sistem kerjakontrak (PKWT) dan alih daya (outsourcing)pada UU Ketenagakerjaan 2003 pada pemerintahan Megawati—yang seharusnyaproburuh—menunjukkan desain sistem ini melibatkan pihak-pihak yang sangat kuat,yakni IMF dan ekonom-ekonomnya, yang tecermin dalam letterof intent (LOI) ketika itu.
Ketiga, Konflik agraria yang terjadi akhir-akhir ini jelas erathubungannya dengan polarisasi masyarakat pedesaan. Sejak lama para penelitiagraria mengingatkan bahwa sangat mengkhawatirkan jika ekonomi pedesaanbergerak ke arah polarisasi masyarakat, pertentangan kelas akan meningkat, stabilitasterganggu, dan usaha pembangunan pertanian akan terhambat (Wiradi, 1994).
Struktur sosial lain yang tercipta dari langgengnyaketimpangan adalah proletarisasi petani makin meluas. Proletarisasi iniditandai transformasi kelas petani menjadi buruh tani. Kaum proletariat inihidup tidak lagi dengan mengolah tanah secara langsung, tetapi dari menjualtenaga ke pemilik modal. Proletarisasi berlangsung dalam wajahnya yang sangatbrutal di mana ditandai dengan pengusiran dan perampasan tanah-tanah rakyatsecara paksa.
Selain melahirkan diferensiasi masyarakat pedesaan danproletarisasi petani, ketimpangan juga menyebabkan munculnya ketidakstabilansosial-ekonomi. Ketimpangan juga mengakibatkan rendahnya produktivitas,khususnya di sektor pertanian, lantaran pertanian didominasi petani penggarapdan buruh tani. Mereka ini tak memiliki jaminan penguasaan tanah sehingga jugatidak memiliki insentif untuk menciptakan modal ataupun melakukan investasibagi peningkatan produktivitas tanahnya.
Sejatinya, kondisi di atas menjadi peringatan bagi pemerintahuntuk segera mengakhiri ketimpangan agraria dengan menjalankan agenda reformaagraria. Inti dari reforma agraria adalah land reform, yakni penataan ulangpemilikan, penguasaan, dan penggunaan tanah lalu dilakukan redistribusi kepadapetani tak bertanah. Agar program land reform berdampak pada peningkatankesejahteraan petani, harus diikuti dengan program pendukung lainnya, sepertijaminan kredit pertanian, perbaikan infrastruktur pedesaan, pendidikan, danperbaikan sistem pemasaran hasil pertanian.
Reforma agraria pada dasarnya tidak hanya bertujuanmeningkatkan taraf hidup kaum tani, tetapi juga untuk menguatkan dasarpembangunan nasional. Sebab, program ini memungkinkan terjadinya pembentukankapital yang menjadi dasar bagi proses industrialisasi pedesaan.Industrialisasi pedesaan syarat penting bagi kemajuan bangsa dan kemakmuranrakyat.
Kita patut melihat ini pada relasi tanah pertanian, yang sebenarnya terhubung padapenjelasan "proletarisasi" ini. Dalih pengambilan lahan ada banyak. Pertama,untuk pertambangan atau industri. Taktik yang dilakukan oleh perusahaanadalah membebaskan semua lahan warga dengan biaya tak sedikit. Namun, masalahsosial yang ditimbulkan tidak ditanggulangi dengan baik. Kedua, untukinfrastruktur. Taktik ini kadang membajak peran negara dengan dalih penyediaanlahan untuk kepentingan umum. Warga hanya mendapatkan ganti rugi, tetapi tidakmendapatkan akses atas tanah yang baru.
Baru-barusaja, kita terkejut ketika sebuah UU tentang Pengadaan Lahan bagi KepentinganUmum lolos begitu saja di DPR-RI (UU Nomor 2 Tahun 2012). UU ini bisa menjadicelah kaum kapitalis membajak negara untuk membebaskan lahan para petani, tanpamemperhatikan dampak sosial yang menyertainya.
Masalahini jelas terhubung dengan fenomena perburuhan. Meningkatnya jumlah buruh yangterjebak pada "hukum besi upah" salah satunya disebabkan oleh masalahini. Ketika para petani kehilangan lahan, yang sebenarnya juga bisa dibacasebagai "upaya pemiskinan", tak ada pilihan lain bagi mereka selainmenjadi buruh. Modelnya bisa menjadi buruh tani (petani penggarap) atau masuksebagai buruh di kelas industrial.
Keempat,apa benang merah yang bisa kitatarik dari masalah-masalah di atas? Jelas, buruh menghadapi masalah penaikanharga BBM yang tidak menguntungkan, upah yang tidak layak (karena UMP takkunjung dinaikkan), "rezim upah murah", bayang-bayang PHK jika ongkosproduksi naik dan perusahaan melakukan efisiensi, serta proletarisasi karenatanah sudah harus terjual untuk kepentingan industrial. Buruh kian tercekik.Dan masalah seperti ini akan tetap ada jika kapitalisme masih terus hegemonik,opresif, dan menindas kaum tak berpunya!
Jelas,masalah penaikan harga BBM adalah refleksi dari politik migas yang takberdaulat. Rezim upah murah terjadi karena pemerintah tak punya keberpihakanyang kuat pada kaum buruh dalam berhadapan dengan pemilik modal. Proletarisasiterjadi karena petani tak lagi berdaulat atas tanahnya, dan pemiskinan buruhterjadi karena buruh tak lagi berdaulat atas hasil kerjanya.
Ketikaburuh dihisap melalui rezim upah murah, dan ekonomi sedang morat-marit, kepadasiapa kita menuntut? Jangan lupa, kita masih punya negara. Negara ini didirikanuntuk "melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darahIndonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum" (pembukaan UUD 1945).Jelas, tanggung jawab membebaskan buruh dari ketertindasan adalah tanggungjawab negara.
Untukitulah, para founding fathers membuat pasal 33 dalam UUD 1945."Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai olehNegara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat". Adatiga poin penting di sini: (1) negara menguasai sektor produksi strategis; (2)hasilnya dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Pasal ini jelasmenegaskan prinsip anti-liberalisasi, anti-korupsi, dan anti-kemiskinan dalampengelolaan ekonomi.
Sekarang,persoalan kian kompleks. Kapitalisme masuk ke sendi-sendi kehidupan kita, bukansekadar produksi manufaktur, tetapi juga ekstraktif. Tapi di sana pun, Sumberdaya Alam kita sekarang sudah tidak lagi berdaulat. Kekuatan asing masuk dengancepatnya. Dan artinya, hasil-hasil produksi buruh, seperti dipotret John Pilger(2001), tidak lagi hanya dipasarkan di pasar domestik, tetapi juga pasarinternasional -dengan skema globalisasi. Artinya, negara semakin tidakberdaulat atas hasil.
Sudah saatnya hari buruh kita jadikanisu bersama semua kalangan. Mari menyambut Mayday dengan semangat#IndonesiaBerdaulat.
Maka menanggapi hal demikian, dengan menyebut bismillahirrahmanirrahiimKesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia Komisariat Untirta menyampaikantuntutan-tuntutan sebagai berikut :
1. Sediakan lapangan pekerjaandengan upah layak
2. Hentikan PHK
3. Hapuskan sistem kerja kontrak dan outsourcing
6. Tegakkan dan lindungi kebebasan berserikat bagi buruh
7. Berikan perlindungan bagi buruh igran Indonesia di luar negeri dankeluarganya secara serius
8. Berikan fasilitas pendidikan dan kesehatan secara gratis bagi rakyat
9. Perumahan murah bagi rakyat
10. Hentikan kekerasan dan perdagangan perempuan dan anak
11. Stop Privatisasi dan penjualan asset-aset Negara
12. Adili pengusaha yang melanggar hak-hak buruh
13. Tolak campur tangan IMF, WB, WTO, ADB, CGI dalam kebijakan ekonomi-politikIndonesia secara berlebihan
14. Tangkap, Adili dan sita seluruh harta para koruptor
KAMMI telah men-tanfidz-kan bahwa segala bentuk kebathilanadalah musuh abadi KAMMI, dan solusi Islam adalah tawaran perjuangan KAMMI.Maka dari itu, sebagai sebuah gerakan tajnid dan gerakan amal, KAMMI berpijakdi atas sikap menentang penindasan manusia atas manusia, melawan segala bentukkezaliman ekonomi, sosial, dan budaya, serta menuntut peran negara untukmemenuhi hak-hak dasar rakyat Indonesia sebagaimana telah menjadi tujuanberdirinya negara Indonesia dalam pembukaan UUD 1945.
Untuk itu, pada momentum Hari Buruh Nasional 2013, KAMMI Komisariat Untirta mengeluarkan sebuah stance sederhana: Pertegas Peran Negara dalamMemenuhi Hak-Hak Dasar Rakyat Indonesia. Pada posisi itulah kami menyerukanagar kedaulatan rakyat di segala bidang harus menjadi tujuan dalam pembangunandi negara ini.
CatatanKaki
[2] lihat di tulisan lengkapnya dihttp://www.marxists.org/reference/subject/economics/ricardo/tax/ch01.htm
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar