Senin, 22 April 2013

Benarkah Kartini Pejuang Emansipasi Wanita?

Oleh Arsanti Aradea 
Kepala Departemen Kajian Strategis Aksi dan Advokasi 
KAMMI Untirta 2013

Perempuan dapat merubah dunia dengan cara menulis apa yang dipikirkannya dan dirasakannya agar tercipta suara baru, 
dunia baru dan makna-makna baru. 
(Helene Cixous, seorang tokoh feminis Postmoderen Perancis)

Kartini dan emansipasi, dua kata yang sulit dipisahkan. Di balik riwayat Kartini dengan surat-suratnya yang terkenal dan riwayat gagasan emansipasi yang terinspirasi feminisme dari zaman Pencerahaan, segolongan aktivis feminisme mencoba membajak sejarah untuk kepentingan-kepentingan tertentu, atau menjunjung nilai-nilai tertentu. Raden ajeng kartini, mungkin nama ini bukan lagi nama yang asing untuk rakyat Indonesia, beliau dikenal sebagai seorang tokoh perempuan yang memperjuangan “hak”perempuan untuk bisa setara dan sama dengan laki-laki. Atau sering kita kenal dengan sebutan emansipasi wanita.

Banyak tulisan tentang beliau yang dituliskan dalam bentuk surat-surat yang sangat menggambarkan keadaan kaum wanita saat itu. Waktu berjalan hingga kita tiba di zaman dimana wanita harus diakui, wanita punya kebebasan, wanita juga kuat, wanita juga mampu dan sebagainya.

Dalam perayaan hari hari kartini, seringkali kita ditemui oleh fakta bahwa seremonial hari kartini kebanyakan diisi oleh talkshow yang berisikan diskusi dengan perempuan yang sukses, seperti pengusaha perempuan, pemimpin perempuan, polisi perempuan, dan bahkan mungkin presiden perempuan.


Kartini dan Emansipasi Perempuan

Pertanyaan sederhana sebetulnya adalah : benarkah Kartini memperjuangkan emansipasi, atau hak-hak perempuan atauapapun namanya? Jikapun benar, apakah apa yang diperjuangkan Kartini sama dengan apa yang diperjuangkan kaum feminis hari ini hingga mereka merasa memiliki lisensi untuk mencatut nama Kartini?

Dinegeri ini hari kelahiran Kartini, 21 April, selalu diperingati tapi sayangnya hanya identik dengan kebaya. Karnaval anak sekolah atau tiap acara pakai kebaya termasuk acara di televisi. Momentum hari Kartini sangat identik dengan emansipasi perempuan. Kaum feminis di negeri ini, memaknai emansipasi sebagaisemangat kesetaraan gender. Terlebih mereka ingin melegalkannya dalam hukum Negara, sedang menarik untuk dibahas Rancangan Undang-Undang Keadilan dan Kesetaraan Gender (RUU KKG).

Ingin sekali rasanya menghadirkan Kartini dan mengkonfirmasi emansipasi perempuan yang dimaksud itu seperti apa? Hanya khayalan. Sekarang masing-masing kepaladari kita mulai memaknai emansipasi perempuan itu. Dari kutipan salah satu surat Kartini : 
“Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak perempuan, BUKAN SEKALI-SEKALI KARENA KAMI MENGINGINKAN ANAK-ANAKPEREMPUAN ITU MENJADI SAINGAN LAKI-LAKI DALAM PERJUANGAN HIDUPNYA. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri kedalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama.” [Surat Kartini kepada Prof. Antondan Nyonya, 4 Oktober 1902]

Dalam bukunya yang fenomenal, Api Sejarah, Ahmad Mansur menulis : 
“Dari surat-suratnya yang dikenal dengan Habis Gelap Terbitlah Terang, ternyata R.A Kartini tidak hanya menentang adat, tetapi juga menentang politik kristenisasi dan westernisasi. Dari surat-surat R.A. Kartini terbaca tentang nilai Islam di mata rakyat terjajah waktu itu. Islam sebagai lambang martabat peradaban bangsa Indonesia. Sebaliknya, Kristen dinilai merendahkan derajat bangsa karena para gerejawan hanya memihak kepada politik imperialisme dan kapitalisme.”

Di Sisi ini yang kurang diperhatikan oleh pegiat emasipasi wanita dan feminisme. Bahwa Kartini sebagai sosok pembela hak perempuan dapat saja benar adanya, sebagaima wanita sezamannya Raden Dewi Sartika yang giat memperjuangkan pendidikan, utamanya pencerdasan kaum perempuan bahkan mendirikan Kautamaan Isteri pada tahun 1916. Hanya saja, amatberlebihan jika semangat pembelaan hak dan pencerdasan bangsa ini lantas ditafsirkan sebagai upaya merintis emansipasi, sebagaimana yang dilihat dari kacamata kaum feminis. Secara adil, seharusnya mereka juga melihat sosok Kartini sebagai pembela nilai Islam dari serangan Barat dan perintis pencerdasan perempuan, semua gagasan itu sudah mendapat landasannya dalam ajaran Islam, bukan dalam ajaran Barat.

Jelas perjuangan Kartini bukan untuk menyetarakan gender, justru karena paham akan peran dan tanggungjawabnya yang utama sebagai perempuan maka dibutuhkan kapasitas yang sesuai. Ibu sebagai pendidik pertama untuk anak-anaknya akan lebih berkualitas jika berpendidikan juga. Layaknya teko, ia dapat mengalirkan air yang segar jika diisi dengan air segar juga.

Perkembangan zaman kemudian menuntut perempuan untuk berperan juga di sektor publik. Rosululloh SAW dan para shabiyah pun telah mencontohkan, merekapun mengizinkan. Ummu Athiyah berkata, “Saya ikut dalam peperangan bersama Rosululloh SAWsebanyak tujuh kali. Saya tinggal di barak-barak mereka, lalu saya membuatmakanan untuk mereka, mengobati yang terluka dan merawat yang sakit” (HRMuslim) juga kepemimpinan Aisyah pada Perang Jamal meskipun ada realitas yangtak baik. Itu bukan karena ia sebagai perempuan tapi karena kesalahan strategi politik.

Secara biologis laki-laki dan perempuan jelas berbeda, terkait peran dan tanggungjawabnya Rosululloh SAW pun tak melarang perempuan berperan di sektorpublik. Akan lebih mudah memahami masalah ini dalam kacamata determinasi peranyang dilakukan dengan prinsip keadilan oleh Alloh SWT, bahwa antara laki-laki dan perempuan perlu ada penataan posisi. Setiap peran tidaklah lebih rendah dibandingkan dengan yang lainnya. Kalaupun seorang perempuan memilih menjadi ibu rumah tangga, pendidik generasi, dan tidak bekerja di sektor public, hal itu bukanlah pekerjaan ringan yang bisa dianggap rendah atau sambilan. Ketika ia memilih peran tersebut dalam konteks ketinggian martabatnya, maka itu adalah bentuk kemerdekaan yang tak bisa disalahkan (Takariawan,2003:104)

Sekadar Penutup 
Ketikakaum feminis memanfaatkan hari Kartini untuk memperjuangkan pemikirannya maka kita juga harus lebih memanfaatkan momentum ini untuk melawan pemikiran kaum feminis itu. Tiap orang menginspirasi, dari seorang tukang batupun maka tak salah kalau terinspirasi dari Kartini. Dengan syarat tak mengagung-agungkannya. Hari kelahiran para pahlawan sering kali dijadikan sebagai hari nasional seperti Hari Kartini dan Hari Pendidikan atas kelahiran Ki Hajar Dewantara, sama sekali tak bermaksud untuk mengagung-agungkan mereka apalagi menyandingkan mereka dengan Rosululloh SAW dan para shahabah dan shahabiyah. Naudzubillah. Hanya memanfaatkan momentum, hanya belajar menjadi negarawan.

Oleh karena itu, alih-alih Kartini, umat Islam memiliki banyak sosok lain dari gudang keteladanan generasi shahabiyah. Sebut saja Sayidah Aisyah ra, seorang isteri Nabi Shallawahu ‘Alaihi Wassalam sekaligus narator hadits, intelektual perempuan sepanjang zaman. Bagi kaum perempuan umat Islam, sosok ini, dan jugapara shahabiyah lainnya, lebih wajar untuk dipanut.

Hakikatnya belajar, berubah dari tidak tau menjadi tau, memperbaiki kesalahan dan senantiasa mencari kebenaran. Berusaha belajar ketika bertemu apa dan siapa saja serta ketika singgah dimana saja. Wallahu a’lam bi ash shawab. Hanya Alloh Pemilik Kebenaran Hakiki. 


Referensi: 
Draft Rancangan Undang-Undang Keadilan dan Kesetaraan GenderTakariawan, Cahyadi. 2003. Fikih Politik Perempuan. Solo : Era Intermedia
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

 

KAMMI Komisariat Untirta - Copyright  © 2012 All Rights Reserved | Design by OS Templates Converted and modified into Blogger Template by BTDesigner | Back to TOP