Rabu, 20 Maret 2013

"Kaburnya" Negara

“Kaburnya” Negara Oleh : Arsanti Aradea Kepala Departemen Kajian Strategis Aksi dan Advokasi KAMMI Untirta 2012-2013

Masih segar dalam ingatan kita ingar bingar polemik RUU Pendidikan Tinggi dua tahun terkahir ini. Meski sudah disahkan menjadi Undang-Undang Pendidikan Tinggi (UU PT) No. 12 Tahun 2012 bulan Juli lalu, namun gelombang resonansi kegaduhannya masih berlanjut hingga sekarang.
Sejumlah organisasi massa dan elemen gerakan mahasiswa masih terlihat kerap menggelar aksi demonstrasi menolak UU PT. Bahkan uji materi undang-undang ini mulai disidangkan di Mahkamah Konstitusi (MK) dan telah memasuki sidang keenam, Rabu lalu (20/2). MK melakukan judicial review UU PT berdasarkan gugatan permohonan dari Forum Penduli Pendidikan (FPP) dan BEM Universitas Andalas yang didukung sejumlah elemen sipil dan kemahasiswaan.

Komersialisasi Pendidikan
Bagian UU PT yang dipandang melegalkan komersialisasi pendidikan adalah Pasal 64 dan 65 yang mengatur otonomi perguruan tinggi. Pasal ini memberikan pilihan penyelenggaraan otonomi perguruan tinggi bagi PTN dengan menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PPK-BLU) atau membentuk badan hukum. Otonomi yang diberikan meliputi bidang akademik maupun nonakademik termasuk dalam hal pengelolaan keuangan dalam rangka menghasilkan pendidikan tinggi yang bermutu. Bunyi Pasal 64

“(1) Otonomi pengelolaan perguruan tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 meliputi bidang akademik dan bidang nonakademik.
(2) Otonomi pengelolaan di bidang akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penetapan norma dan kebijakan operasional serta pelaksanaan Tridharma.
(3) Otonomi pengelolaan di bidang nonakademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penetapan norma dan kebijakan operasional serta pelaksanaan:
a. organisasi;
b. keuangan;
c. kemahasiswaan;
d. ketenagaan; dan
f. sarana prasarana.”

Pasal 65
(1) Penyelenggaraan otonomi perguruan tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 dapat diberikan secara selektif berdasarkan evaluasi kinerja oleh Menteri kepada PTN dengan menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum atau dengan membentuk PTN badan hukum untuk menghasilkan pendidikan tinggi bermutu.
(2) PTN yang menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki tata kelola dan kewenangan pengelolaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) PTN badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki:
a. kekayaan awal berupa kekayaan negara yang dipisahkan kecuali tanah;
b. tata kelola dan pengambilan keputusan secara mandiri;
c. unit yang melaksanakan fungsi akuntabilitas dan transparansi;
d. hak mengelola dana secara mandiri, transparan, dan akuntabel;
e. wewenang mengangkat dan memberhentikan sendiri dosen dan tenaga kependidikan;
f. wewenang mendirikan badan usaha dan mengembangkan dana abadi; dan
g. wewenang untuk membuka, menyelenggarakan, dan menutup Program Studi.
(4) Pemerintah memberikan penugasan kepada PTN badan hukum untuk menyelenggarakan fungsi pendidikan tinggi yang terjangkau oleh Masyarakat.
(5) Ketentuan mengenai penyelenggaraan otonomi PTN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Di antara kewenangan PTN yang berbadan hukum adalah hak mengelola dana secara mandiri, mendirikan badan usaha, dan mengembangkan dana abadi. Diktum inilah yang oleh sebagian kalangan “dicurigai” sebagai bentuk pelarian tanggung jawab pemerintah dari pemenuhan semua beban biaya pendidikan. Otonomi dan kemandirian perguruan tinggi dari segi pendanaan juga dikhawatirkan akan dibebankan pada mahasiswa melalui biaya-biaya tambahan dengan alasan peningkatan mutu.

Akses pendidikan
Isu kedua yang ramai dieperdebatkan adalah akses pendidikan bagi kalangan tidak mampu. Pasal 74 UU PT menyebutkan, PTN wajib menjaring calon mahasiswa yang memiliki potensi akademik tinggi, tetapi kurang mampu secara ekonomi dan calon mahasiswa dari daerah terdepan, terluar, dan tertinggal minimal 20% dari seluruh mahasiswa baru yang diterima dan tersebar pada semua program studi.
Ketentuan kuota 20% menurut sebagian kalangan terlalu kecil. Meskipun itu hanya batas minimum, namun dikhawatirkan para pengelola PTN hanya akan memenuhi batas minimum tersebut. Sehingga akses masuk PTN bagi kalangan tidak mampu tetap terbatas dibandingkan kalangan yang mampu secara ekonomi.

Pengajar di Departemen Ilmu Politik UI mengimbuh, fakta menunjukkan, keberadaan komersialisasi pendidikan dicampuradukkan dengan ketidakmampuan pemerintah membiayai pendidikan nasional menjadi sebuah langkah afirmasi. Padahal, afirmasi sejatinya bertujuan mengoreksi keadaan struktural sosial di masyarakat menjadi lebih baik, bukan menjustifikasi apa yang sudah ada.

Jika kebijakan ini terus diterapkan, maka pendidikan tinggi Tanah Air menuju kondisi "apartheid", yakni membelah masyarakat secara tingkat sosial dan kemampuan ekonomi. Kritik lainnya, tidak ada sanksi yang akan dijatuhkan kepada perguruan tinggi yang tidak memenuhi ketentuan 20 persen tersebut. 
"Bagaimana ini bisa dilihat sebagai tujuan afirmasi. Justru kondisi ini adalah apartheid yang dilembagakan dan seolah-olah menjadi kebaikan hati undang-undang," tuturnya.

Seharusnya, kebijakan tersebut sebaiknya menjadi landasan untuk kemudian disesuaikan dengan Kovenan Hak Ekonomi Sosial Budaya dan akan terus ditambah. Artinya, angka minimal 20 persen tadi akan bertambah sehingga makin banyak siswa tidak mampu dan berasal dari daerah 3-T dapat mencicipi perkuliahan.
"Itu baru namanya pemerataan," imbuhnya.

Ketentuan tersebut telah membuka ruang dikriminasi terhadap calon mahasiswa yang memiliki potensi akademik rendah dan tidak mampu, hal ini sangat bertentangan dengan cita - cita mencerdaskan kehidupan bangsa, serta menistakan keberadaan pendidikan itu sendiri yang sejatinya membuat ‘si tidak tahu” menjadi “tahu” akan ilmu pengetahuan dan lainnya,

Bunyi Pasal 74
(1) PTN wajib mencari dan menjaring calon Mahasiswa yang memiliki potensi akademik tinggi, tetapi kurang mampu secara ekonomi dan calon Mahasiswa dari daerah terdepan, terluar, dan tertinggal untuk diterima paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari seluruh Mahasiswa baru yang diterima dan tersebar pada semua Program Studi.
(2) Program Studi yang menerima calon Mahasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memperoleh bantuan biaya pendidikan dari Pemerintah, Pemerintah daerah, Perguruan Tinggi, dan/atau Masyarakat.

PT asing
Isu ketiga terkait pendirian perguruan tinggi asing yang diatur dalam Bab VI Pasal 90. Sebagian kalangan tidak setuju aturan ini. Menurut mereka, keberadaan perguruan tinggi asing dikhawatirkan tidak sejalan dengan kepentingan pendidikan nasional dan juga mengancam eksistensi perguruan tinggi dalam negeri dalam kompetisi global.
Bunyi Pasal 90
(1) Perguruan Tinggi lembaga negara lain dapat menyelenggarakan Pendidikan Tinggi di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Perguruan Tinggi lembaga negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sudah terakreditasi dan/atau diakui di negaranya.
(3) Pemerintah menetapkan daerah, jenis, dan Program Studi yang dapat diselenggarakan Perguruan Tinggi lembaga negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Perguruan Tinggi lembaga negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib:
a. memperoleh izin Pemerintah;
b. berprinsip nirlaba;
c. bekerja sama dengan Perguruan Tinggi Indonesia atas izin Pemerintah; dan
d. mengutamakan dosen dan tenaga kependidikan warga negara Indonesia.
(5) Perguruan Tinggi lembaga negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendukung kepentingan nasional.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perguruan Tinggi lembaga negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan ayat (5) diatur dalam Peraturan Menteri.

UU PT menjadi sebuah legalitas untuk melegalkan komersialisasi dan privatisasi pendidikan di lingkungan perguruan tinggi negeri yang terindikasi merupakan jelmaan baru dari UU BHP yang telah ditolak MK karena bertentangan dengan konstitusi.

Semangat UU PT masih mencerminkan pelepasan tanggung jawab negara dalam hal pembiayaan perguruan tinggi. Jika dicermati, pelepasan tanggung jawab negara yang muncul dalam substansi UU Pendidikan Tinggi tersebut berlangsung secara diskursif. UU ini memiliki dua kelemahan. Pemerintah mencoba memberikan tanggung jawab dengan memberikan redaksi kewenangan yang cukup banyak secara birokratis (misalnya, tanggung jawab dan sumber pembiayaan pendidikan tinggi ‘dapat’ dibiyai pemerintah melalui APBN dan APBD di BAB V).

Akan tetapi, di saat yang bersamaan pemerintah menyerahkan pendanaan kepada masyarakat. Pasal 86 memberikan peluang pembiayaan dari dunia usaha dan industri melalui fasilitasi dan insentif, pasal 88 mengatur standar satuan biaya operasional yang ditanggung oleh mahasiswa tanpa ada kejelasan  regulasi dan jaminan hak rakyat untuk mendapatkan pendidikan tinggi, serta pasal 89 yang menyatakan dengan jelas bahwa pendanaan PTN Badan Hukum adalah subsidi.

Beberapa pasal tersebut secara implisit menyatakan bahwa ‘pemerintah mengatur teknis pengelolaan pendidikan tinggi, tetapi menyerahkan dana pendidikan kepada mahasiswa, masyarakat, atau dunia usaha. Apa artinya? Pemerintah diberikan pembebanan untuk membiayai pendidikan tetapi dengan frase yang sangat longgar, yaitu ‘dapat memberikan dukungan dana…’ (pasal 83). Jika dicermati, kata ‘dapat’ ini ditafsirkan oleh Mahkamah Konstitusi (pada amar putusan pencabutan UU BHP) bukan sebagai kewajiban, melainkan sebagai pilihan, dan memberikan peluang-peluang pelepasan tanggung jawab pada prosesnya.

Konsekuensi dari pelepasan tanggung jawab negara ini adalah pembebanan tanggung jawab masyarakat dalam membiayai pendidikan. Dalam konteks pembebanan tanggung jawab kepada mahasiswa, UU Pendidikan Tinggi berpotensi menutup akses mereka yang tidak mampu untuk masuk ke perguruan tinggi. Padahal, akses terhadap pendidikan adalah amanah konstitusi (Pasal 31 UUD 1945). Selain berpotensi menutup akses, UU ini juga akan menjadikan biaya kuliah tidak terjangkau oleh masyarakat yang miskin dan bodoh, sehingga pendidikan tidak dapat membebaskan mereka dari kemiskinan sebagaimana diamanahkan pembukaan UUD 1945.

Menyambut upaya Judicial Review yang digagas oleh beberapa rekan aktivis, perlu kita nyatakan kembali bahwa UU Pendidikan Tinggi tidak sesuai dengan amanah konstitusi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan menjamin hak warga atas pendidikan. Maka, upaya hukum, politik, dan pengorganisasian untuk mencabut UU Pendidikan Tinggi adalah pilihan tindakan yang patut untuk dipertimbangkan. Karena pendidikan itu public goods (barang publik), bukan private goods (barang privat) maka pendidikan harus dipandang sebgai rencana strategis negara, sekaligus hak bagi seluruh rakyat, bukan "jasa komersil". Jangan sampai pendidikan yang menjadi jalan untuk menggapai kemajuan malah dikomersialisasi. Mari kita jaga konstitusi negara kita, Hidup Mahasiswa!


Wallohualam Bishowab

Kepustakaan :
1. UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi
2. UUD 1945.
3. Umar, Ahmad Rizky Mardhatillah. (2012). ‘RUU Pendidikan Tinggi: Bentuk Liberalisasi Pendidikan Gaya Baru?’ Diskusi Publik Pendidikan Nasional, BEM FMIPA Universitas Negeri Semarang, 13 April 2012.
4. Departemen Ilmu Politik UI
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

 

KAMMI Komisariat Untirta - Copyright  © 2012 All Rights Reserved | Design by OS Templates Converted and modified into Blogger Template by BTDesigner | Back to TOP